YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 26 Mei 2018

Hai Pertemuan!


Hai pertemuan ! pertemuan yang intensitasnya semakin menjadi, yang didalamnya terlalu banyak bercerita dan tertawa. Hingga larut masih saja aku deskripsikan wajahmu, yang berceloteh tanpa peduli siapa disekelilingmu, yang selalu apa adanya dihadapku, dan aku mencintai itu. Aku gemar menyembunyikan senyumku dibalik punggungmu saat kau mengendarai roda duamu, aku juga menyukai ketika pipiku mulai merona dan kau melihat itu.


Kau ingat malam itu aku bercerita bahwa aku selalu giat membangun besi-besi dengan parang susah payah, agar tiada lagi yang mudah datang kemudian mudah meninggalkan. Dan kau hanya menertawakanku. Di malam yang berbeda, kau bilang bahwa aku seperti pesakitan yang betah berlama-lama menjuntai kaki sendiri, aku terlalu menikmati kecarut-marutan yang kubuat sendiri, tapi lagi-lagi kau menertawakanku. Hingga aku larut dalam kenyamanan kita meski hatiku tetap untuk seseorang sebelum dirimu.


Sampai waktunya tiba, kau petik mawar-mawar merah dipinggiran, kau rangkai menjadi buket cantik dan kau amankan di ranselmu. Kau bilang kau menungguku di jalan bercabang yang membuatmu bimbang sebab aku memilih menghabiskan waktuku dengan seseorang yang lagi-lagi membuatku jatuh cinta berkali-kali meski nyaris 3 tahun ini.


Kau, selalu gemar menyeduh kuah baso yang kau tambahkan porsinya sebab kau tahu itu kudapan favoritku. Kau selalu hafal berapa sendok gula yang perlu kau larutkan di botol es jeruk itu, dan lagi-lagi, aku selalu merasa istimewa dihadapanmu.


Suatu ketika aku menawarkan pilihan pahit, sebab aku tak suka bermain-main dengan hatimu yang katamu penuh harap, sebab aku tak pandai membohongimu bahwa aku larut dalam permainan yang kubuat sendiri, sebab kau pantas tertawa dengan kenyamanan lain diseberang sana.


Kau memang kuizinkan untuk singgah disini, meski aku tak perbolehkan kau berlama-lama kujamu dengan tawa dan senyumku. Kau mengerti, bahwa aku membukakan lagi pintu yang hanya satu-satunya agar kau tahu kemana jalan untuk pergi, jalan yang membawamu pada sosok yang kau cari, meski bukan lagi aku.




(notes: sebuah tulisan di tahun 2015, yang kemudian diposting dengan rasa yang lebih baik)

Senin, 11 Desember 2017

Sapa Malam Tadi



Ketakutanmu selama ini benar saja terjadi. Seorang datang dari masa lampau. Seseorang yang kenangannya enggan kau ingat lagi. Pekat sepekat malam tadi. Hatimu tak karuan. Suara itu, suara yang menarikmu ke liang masa silam. Dalam dan semakin dalam.

Kau tak bisa menghentikan bicaranya, panjang, tanpa titik, tanpa koma. Menyakitkan.

Begitu lama kau melupa, begitu mudah ia hancurkan dengan kata demi kata yang muncrat bertubi-tubi. Kau? Diam. Tak bergeming.

Dulu, kau bahkan menjadi durjana paling jahat. Kau mentahkan cintanya dan berbalik badan tanpa pamit. Sebab rasa yang kau pun takut mengungkapkannya. Ia? Mundur teratur. Berantakan.

Hai lelaki dari masa lampau. Begitu sigap kau nyalakan lampu-lampu yang sudah ku matikan selamanya. Membabi-buta kau paksa aku berjalan di tengah silau silam.

Malam itu, aku menilik lagi kejujuranmu. Suaramu begitu getir, kecewamu kau timpa dengan tawa. Aku bisa melihat itu, meski hanya lewat suara.

Hal yang mungkin perlu kugaris bawahi. Bahwa kejujuranmu, kejujuran kita, hanya sebatas penyelesaian masa lalu. Kini kau lihai mencintai kekasihmu, sedang aku terus melanjutkan perjalanan menemui keresahan lainnya.

Mudah bagimu mengatakan bahwa ini hanya memori lalu. Bagiku, betapa ku mengulang semuanya dari awal. Mencoba melupa kenangan yang kau buka dan kau hujam sedemikian rupa.

Kini, boleh terlanjur kau robohkan dinding-dinding tua, sebab aku yang lupa mengunci pintu rapat-rapat. Esok, tiada lagi sapa yang terlempar sebab tak sengaja.

Kau adalah kau. Aku adalah aku. Takdir sedemikian rupa sempurna, tak ada sisa sesal sebab sapamu malam tadi.

Minggu, 19 Maret 2017

Temaram Menguning

Hari ini hari sebenar-benarnya hatimu hancur.  dan seperti biasa, kau rayakan kesedihanmu di tempat yang sepi lagi sunyi sembari kau menunggu temaram datang. Kau menyalahkan dirimu seada-adanya, kebodohanmu bahkan perilaku yang diluar batas kontrol. Kau yang hari ini bukan kau yang sebenarnya, kau hanya dibunuh rasa cinta, memiliki, dan kau pungkiri bahwa suatu saat kapan saja kau bisa mengalami kehilangan. Tepat hari ini, hari yang senjanya menguning kau semakin menyerah. Sebab perilakumu sendiri, kebodohanmu sendiri.

Hari ini tiada lagi yang perlu kau tunggu, semua hanya perlu kau ikhlaskan. Berkali-kali kau menulis kesakitanmu tapi tak pernah serapuh hatimu hari ini, sekali lagi, di tempat yang tepat, tempat yang sunyi lagi sepi. Sempat kau yakin bahwa kepercayaan bisa kau upayakan berkali-kali, tapi kau ingkari lagi. Kau bunuh kepercayaan sembari membunuh hatimu yang berantakan.

Bahkan semakin tiada lagi rasa yang kau percaya, hanya sebab setitik noda hitam yang sesungguhnya bisa terhapus juga. Kau terlalu besar kepala mengungkit dosa manusia. Besar kepala sebab merasa yang paling benar. Akuilah, tiada lagi yang perlu dipertahankan dari dirimu, seorang perempuan yang kehidupannya malang.

Sadarilah, kejujurannya hanya pantas bagi perempuan yang berani percaya, bukan yang kalang kabut takut kehilangan. Kebaikannya hanya pantas bagi perempuan berhati tulus, bukan untuk yang sibuk berbalas budi demi alasan meninggalkan.



Satu hal, nalurimu tak pernah salah, ikutilah, biar hatimu istirahat disandaran perempuan yang paling tepat.

Kamis, 09 Februari 2017

Aku yang Merumah...

Bertelungkup tepat dibawah semilir kipas angin dinding, sembari mengingat peristiwa-peristiwa sebelum hari ini datang. Ini merupakan hal yang menjadi langka aku lakukan sebab rasanya waktu menjadi berlenggang sesukanya. Hingga hari ini takdir masih suka menari-nari. Siapa sangka aku menjadi aku saat ini. Masa-masa sekolah sudah terbang membawa kenangannya, masa kuliah sudah berlalu menjejakkan setumpuk bekas mimpi-mimpi seorang mahasiswi. Kesempatan kerja membawa aku berdiri di titik-titik Ibukota, lingkar lingkup ada yang memeluk bersahabat bahkan ada yang mendengus sinis dari balik punggungku.

Kekacauan yang kadung kutemui setiap hari menjadi tidak serat lagi kutelan, berbeda jika aku menyikapi tandamu yang semakin sulit kuterjemahkan ke dalam bahasaku. Mungkin aku begitu larut terbawa stigma orang bahwa kita semakin diuji oleh lamanya waktu atau mungkin juga aku yang telah lelah berupaya.

Tapi semua serba kebetulan, bolak balik aku mencari akal yang paling sehat, bolak balik pula akal sehat lari tak karuan. Kupahami kembali bahwa ternyata aku membutuhkan rumah yang belum lama kau janjikan. Rumah yang dulu, yang dindingnya masih kuat dan kayunya belum rapuh. Bukan yang hanya bersisa pondasi tanpa atap yang melindungi, tanpa jendela yang menahan angin, yang pagar besinya sudah berkarat, yang pintunya berlubang dimakan rayap. Aku tak bisa lagi merumah.

Sepertinya kau menemui lelah, meski besar upayamu menyembunyikannya. Tapi, nyaris lima tahun aku mengenal matamu, cukup untuk aku khatam pada arti setiap kedipnya. Hingga lelahmu masih kau lipat rapi dan kau selipkan dibawah bantal. Kau bilang tak ada arti lelah dalam kamusmu selama tetap bersamaku. Kau putuskan untuk tetap menjadi yang paling hangat, meski hangatmu kerap berbuih kecewa.

Kau tahu? Bahkan aku limbung sendiri, kukira melupa tak harus membenci kenangan. Tapi, beribu kali aku salah. Sebab, ada rindu yang datangnya setiap hari, yang setia menjadi benang jahit pada aku yang kadung luka. Sementara itu, lukaku kau buat melebur sebab rindu. Kemudian, kau genggam erat lagi, dan kau ajak aku lebih mendekat pada tepian.

Meski aku kerap tersaruk-saruk, kau tetap setia menggapai tanganku yang bertengadah, kau yakinkan bahwa kita tak pernah salah naluri, bahwa luka ada hanya untuk dipelajari letak kesakitannya. Bukan untuk didiamkan hingga tersusun dendam mendalam. Beribu kali pula salah membuatku mengampun padamu, tapi kau tak tega melihat aku yang memelas bersalah dan kau sederhana mengatakan bahwa kau hanya ingin mendidikku membedakan kesalahan dari segala bentuk kebaikan.

Sekarang, aku mengerti, bahwa rumah yang dulu masih kokoh berdiri diatas tanah padat. Pondasinya masih kuat, tak ada atap yang bocor, angin pun hanya masuk dari celah kecil jendela yang membuat sejuk didalam, tidak ada besi yang korosi, dan pintunya juga masih terkunci kalau-kalau ada seorang ingin menjahat. Ternyata, aku hanya perlu mengais debunya, menyapu setiap kotoran pada lantai dan menyusun pigura-pigura kenangan yang sempat kita abadikan. Dan aku tetap bisa merumah, padamu rumah yang kerap lupa kurawat.

Allah ajaib! Aku mencintai apapun yang pernah dan akan Allah takdirkan. 

Dan mengenalmu adalah salah satunya...


Diar Atmaja


Minggu, 07 Februari 2016

Kalau Boleh, Aku...

Kalau boleh, kuberi nama kau samudera. Kalau boleh, ku beri tanda dirimu agar lebih mudah kutemui dilautan manusia berdiri. Kalau boleh, sisakan senyummu untukku meski bukan denganku kau bagi senyum itu. Kalau boleh, aku merenungimu sepanjang malam ini, hanya untuk malam ini.

Malam ini, kau membuatku percaya akan kekuatan takdir, takdir yang mempertemukan kita, yang membiarkan kita menghabiskan bicara hingga ujung larut, yang menyentuh urat-urat humor hingga kita terpingkal, yang menyisipkan sekubik nyaman hingga esok aku harap takdir yang membuat kita jumpa lagi dan lagi. Namun hari ini, kupahami takdir itu, kubiarkan takdir mengaturku semaunya, untuk tidak bertemu denganmu, tidak bicara, tidak tau menau apapun tentangmu, sebab itu maunya takdir, mungkin juga mauku.

Pertemuan terakhir kita, ku garis bawahi kata-katamu, bahwa kau sedang membuka celah jendela hatimu untuk kau persilahkan yang lain masuk, seseorang yang sepertinya kau nikmati kecantikannya, kau banggakan kepandaiannya, kau ceritakan meski bibirmu bergetar, meski keraguanmu nampak jelas ku mengerti.

Seorang datang setelahku, yang kau bagi tawa, yang kau bagi cerita. Sedang aku meratapi keenggananku untuk melepasmu dengan sebenar-benarnya, dengan seseorang yang kuyakini melebihiku atas segalanya setelah ku putuskan bahwa kita tidak lagi perlu bertemu, sampai kapan pun.

Malam ini kucoba lagi mengikhlaskan sosokmu yang hangat, untuk berbalik badan, menjauh tanpa menoleh kearahku lagi. Untuk menemui hati yang baru, rasa yang baru, kebahagiaan yang baru, lembar yang baru yang kelak kau tulisi dengan cerita yang lebih indah lagi.


Aku memutuskan ini, dengan berat hati, dengan penuh pilu di malam yang kian merundung. Bahwa kita tak lagi perlu saling menyapa, berbagi cerita, menghempas tawa, bahkan bertemu muka. Sebab sudah ku gali liang untuk kukubur apa yang pernah tercipta, yang gelapnya pekat tanda bahwa dalamnya tak mudah kau hitung, meski aku tak benar-benar yakin, meski mungkin aku menceburkan diri suatu waktu, hanya untuk mengingatmu kembali seperti malam ini, malam yang semakin merundung.

Sabtu, 02 Januari 2016

Sore itu Senja Masih Oranye

Sore itu senja masih oranye, belum tertutup awan yang menjadikannya gelap, tapi lembayung justru membuatku sendu, hingga aku memutuskan turun dari angkutan umum meski belum sampai pada tempat tujuan. Ada kepedihan tepat dipelupuk mata, sedekat dipelupuk mata.

Aku masih percaya, bahwa pendidikan yang merata bukanlah sebuah hal yang utopis, bukan hal yang tidak mungkin terjadi, meski pada realitanya terlalu banyak dari mereka yang lebih memilih asik bermain ukulele sembari sesekali menghisap tembakau diselipan jemarinya, hingga mereka mampu menghentikan angkutan umum yang aku tumpangi tepat diperhentian bus sisi kiri jalan.

Mengapa permasalahan materi bisa memberi dampak kehidupan sosial sekrusial ini, padahal mereka pintar, mereka masih mau, meski ada yang lebih nyaman dengan pekerjaan di jalan. Mengapa sistem internasional serumit ini, World Bank, IMF, Dollar, Inflasi, privatisasi, mengapa kita harus memenuhi sistem yang terkadang membunuh kita sebagai bangsa yang berdaulat.

Ini soal siapa yang dikorbankan, sebab aku tidak akan pernah rela selama anak-anak yang terus-menerus menjadi korban, sementara wakil rakyat masih saja membunuh hak-hak mereka untuk mendapat pendidikan yang terbaik, padahal wakil rakyatlah yang paling setia menggadang-gadangkan tagline beraroma generasi penerus bangsa, dan semua hanya demi citra.

Dari perbincangan panjang sore itu dengan anak-anak, begitu banyak yang aku artikan dalam kegamangan, begitu banyak yang membuat hati menjadi remahan kecil, begitu menyedihkan, begitu memprihatinkan, hingga aku pamit dengan membawa pulang kelimbungan.

Mereka butuh motivasi, butuh mengenal apa itu impian, mimpi-mimpi. Mereka butuh tangan-tangan sukarela memeluk mereka dari samping, meyakinkan bahwa dengan pendidikan mereka bisa menggenggam dunia. Begitu pun aku yang hanya bisa bimbang sebab kondisi yang ditangkap oleh indera begitu menyakitkan.


Sore itu senja masih oranye, diselimuti bias awan gelap yang hendak menjadikan langit semakin gelap, menjemput malam, menutup hari.

Senin, 12 Oktober 2015

H for Happiness with Hafizh

Malam ini, aku begitu giat mengingat-ingat memori dulu, ketika nyaris 3 tahun lalu kau taruhkan hatimu untuk aku jaga.  Sembari kau usap jemariku sebab dingin yang kamu pun gigil sendiri, di tempat itu, tempat yang kita pernah berjanji akan menyambanginya lagi lain hari. Namamu Hafizh, yang saat itu baru kukenal 3 bulan saja, sosok yang akhirnya membuat isi hatiku meruah dan kubagi denganmu. Hafizh yang pernah beberapa kali kupergoki kegugupannya jika berjalan tepat disebelahku, yang mengaku bahagia ketika berhasil menyelipkan jemarinya disela jemariku dan yang mengajakku ke pasar bunga tapi sebatang pun tak dibelikannya untukku.
Hafizh yang sampai detik ini masih betah mengayuh sampan denganku. Iya, sampan. Sampan yang mudah goyah ketika diterpa arus besar dan angin kencang, tapi hafizh tetap mengajakku mengayuh bersamanya dengan lebih kuat hingga sampai pada hulu sungai yang kita tuju. Hafizh tak pernah berhenti mengendarai buih, menyusuri urat-urat bumi, meski ia tahu sulit, tapi mudah jika denganku, diakuinya.
Aku dibuatnya larut dalam pertokohan yang lebih indah dari romantisme Rama-Sinta, yang kadang mengharu biru seperti Romeo-Juliet, hingga aku tak mau turun dari pentas meski dipaksa, meski lampu sorot satu per satu dimatikan tanda berakhirnya pementasan. Aku selalu ingin memiliki kisah indah seperti Sinta, dan aku selalu ingin seberuntung Juliet memiliki Romeo. Aku ingin hidup lebih lama seperti ini, yang bahkan kolokanku saja kau sukai, manjaku kau tagih, marah pun kau usap kepala kekanakanku ini. Ah, aku larut.
Aku adalah perempuan yang ingin menjadi pagi dan soremu, yang mengantarmu pada bulir semangat dan menjemputmu meski kau dalam lelah. Aku yang paling setia memutar jari menuju ketiakmu biar kau tertawa menahan geli, mencubit sisi perutmu kalau kau mulai meledek, dan mengusap kepalamu ketika kau ingin mengeluh.
Bahkan mataku berkaca menulisinya, mengingat wajahnya yang memelas ketika aku mulai diam tak mau bicara, mengingat tuturnya yang halus meski aku membalasnya dengan nada tinggi, mengingat sikapnya yang selalu ingin mengajariku membangun dinding-dinding kerukunan sejak dulu, dan kesetiaannya meski banyak yang berparas ayu di luar sana.

Hingga aku tambatkan waktuku untuk mendoanya setiap malam, hati yang kurendahkan, tangan yang kutengadahkan, dan mata yang sesekali mengembang demi memintanya menjadi yang terbaik untukku, hingga hanya Allah yang menjadikan maut sebagai alasan satu-satunya membuat kami bepisah dalam raga, hanya dalam raga.